AKHIR CINTA DI PENGHUJUNG SENJA
AKHIR CINTA DI PENGHUJUNG SENJA
Siang itu amatlah panas, semburan cahaya sang surya menari-nari
bebas di atas langit yang tersenyum manja. Tenggorokanku mulai gersang dan
dahiku yang kokoh ini mulai basah oleh keringat bernoda.
Hatiku gundah gulana dan sukmaku kehilangan cahaya. Aku masih
memikirkan prilaku aneh Senja akhir-akhir ini. Aku bimbang, mengapa bisa ia
mencintaiku, sedang aku sudah sembilan tahun merajut persahabatan dengan wanita
bermata empat itu. Kembali mataku terbuka dan seketika terlintas bayang Senja yang
seminggu lalu memuntahkan isi hatinya:
“Aku tahu, aku ini sahabatmu, tapi apakah salah jika aku menitipkan
rasa yang lebih dihatimu? Aku menyayangimu Roy, tapi bukan atas dasar
pertemanan. Entah kenapa rasa ini hadir dan kutitipkan untukmu. Aku memang
bodoh telah cinta dan amat sayang kepada sahabatku sendiri. Tapi rasa ini ada
Roy, aku tak ingin memendamnya”.
Kriiiiiingg... waktu pelajaran habis, akupun bergegas menuju taman
sekolah karena Senja ingin berjumpa denganku. Namun setiba disana aku tak
menemukan siapapun. Aku lirik sana sini, tapi aku tak menemukan Senja. Aku
hanya mendengar suara langkah kaki terhunjam diatas tanah yang coklat dan
ditumbuhi rumput mungil nan hijau, ternyata itu petugas kebersihan yang datang
menghampiriku.
“Ade Roy kan ?” ini ada surat dari teman ade, Senja namanya. Tadi
dia menitipkan ini kepada bapak untuk diberikan kepada ade”, ucap Pak Narto sambil
memberikan sepucuk surat kepadaku.
“Oh iya Pak saya Roy, ngomong-ngomong Senjanya kemana Pak?” tanyaku
heran.
“Bapak tak tahu de, ia langsung pergi”. Jawab Pak Narto.
“Oh iya makasih ya Pak” ucapku dan hendak meninggalkan Pak Narto.
Aku langsung duduk dibawah pohon pinus yang rindang akan dedaunan.
Dengan penasaran, aku langsung membaca surat dari Senja:
“Roy, aku tahu kita sahabatan sudah lama, aku tahu kamu kecewa
dengan sikapku yang diam-diam mencintaimu. Tapi aku amat mencintaimu entah kenapa.
Aku tak peduli kamu itu temanku, yang penting aku mencintaimu dengan tulus. Berikan
kesempatan padaku untuk mengisi hatimu Roy, kumohon”.
Akupun mulai menyadari besarnya cinta Senja selama ini. Aku mulai
sadar betapa dalam kasih sayangnya, seolah-olah ia hanya bisa mengungkapkan
lewat kata-kata dan tulisan semata.
Namun sepucuk surat dari Senja tak mengubah bulatnya tekadku untuk
tetap tidak menerimanya sebagai kekasih. Aku langsung mengambil handphone dan
mengirim pesan kepada Senja:
“Senja, aku tahu kamu sangat mencintaiku, namun aku tidak
mencintaimu. Aku hanya menganggapmu sebagai sahabat biasa. Sudahlah Senja!!!
Kita tak mungkin bisa bersatu“.
Tak lama Senja membalas pesan itu:
“Aku tahu, tapi apa salahnya jika kita mencoba? Beri aku kesempatan
Roy. Aku mohon’’.
Aku semakin jengkel dan amat
kesal kepada Senja.
“Aku tak peduli, kamu itu sahabatku, aku tak ada hati untuk
bercinta denganmu!!. Tapi aku akan berpikir lagi dan jawabannya kuberi tahu
nanti di alun-alun seperti biasa kita bertemu, kita akan berjumpa di akhir senja.
Jika aku datang, maka aku bersedia menjadi pasanganmu. Namun jika di akhir
senja aku tak kunjung datang, maka maaf penantianmu percuma dan harapanmu
terbuang sia-sia”. Aku kirim pesan tersebut kepada Senja.
“Aku tunggu kau diakhir senja”, balasnya singkat.
Sebenarnya aku tak ada niat bertemu dengannya nanti, karena aku bersih
keras tak mau berpacaran dengannya.
“Ya sudahlah biar saja dia menunggu” gumamku tertawa kecil tak
punya hati.
Waktu mulai menginjak petang, Senja sudah duduk manis di bebangkuan
alun-alun dengan jaket merah muda merona dan celana jeans ketat, rambutnya
terurai indah dan lebat. Senja sangat mengaharapkan aku datang dan mengakhiri
penantian yang ia dambakan selama ini. Sementara aku, malah asik nonton tv
diruang keluarga tanpa memikirkan kehirauan Senja sama sekali.
Waktu menunjukan pukul 17.30 dan Senja mulai gelisah. Tetapi ia
berkeyakinan kuat bahwa aku akan datang dan menerima cintanya. “Mungkin Roy
masih dijalan, atau mungkin Roy akan memberiku sebuah kejutan”. Pikir Senja
penuh harap. Namun apalah daya, waktu sudah 18.00 dan senja yang jinggapun bergulir
menuju malam. Wajah Senja yang tadinya bulat indah mempesona seketika berubah
menjadi merah merekah pertanda memuncaknya amarah. Senjapun mulai sadar betapa
sakit harapannya sirna dan penantiannya terbuang percuma. Ia mulai menyadari
bahwa kasih sayangnya tak dianggap dan disia-siakan oleh sahabatnya sendiri.
“Sangatlah tega kau Roy. Aku kecewa padamu” gumam Senja menangis
tersedu-sedu, hatinya pecah dan
harapannya musnah.
Senjapun menyalakan motor matic miliknya dan lekas pulang dengan
perasaan yang tak diinginkan.
Dia sangat prustasi dengan keadaan, ia amat kecewa dengan
sikapku yang menyia-nyiakan kasih
sayangnya. Karna sudah tersakiti dan merasa hidupnya tak berarti lagi, ia
berfikir untuk apa ia hidup jika hanya untuk mengharapkan balasan cinta dari
sahabatnya sendiri. Pikiran itupun membuat ia tak fokus dalam berkendara dengan
amarah yang menggebu-gebu.
Tak jauh dari rumahku, terdengar teriakan massa minta tolong. Aku
yang tengah asyik nonton tv beranjak keluar dan melihat keramaian. Ternyata
seorang gadis telah tewas terlindas truk dan membuat jantungku berhenti
berdetak. Karena aku mengenal motor korban aku langsung berteriak “Senjaaaa!!!
Itu Senja sahabatku”. Ternyata tepat, Senja tertabrak truk dan ia pun tewas
terlindas. Suasana yang tadinya kacau
berubah seketika menjadi hening dan haru. Aku tergagap karena terkejut
yang amat sangat. Serentak tubuh terdiam bibir membisu, jantungku berdebar darahpun
membeku. Meskipun kaku dan gerimis mulai mengundang batinku, aku berjalan
menuju jenazah yang terus menyemburkan darah.
Akupun mulai menyadari kebodohanku
dan merasa sangat menyesal karna ku tahu Senja menungguku di alun-alun
kota. Aku terkurung di hamparan hati yang kosong, hatiku terpukul oleh
kebodohan yang telah aku lakukan, aku terperangkap oleh kekhilafan dan
keegoisan. Aku terdiam, mati kutu, hatiku berlumuran luka dan jiwaku kehilangan
lentera.
“Senja....Senja....bangun Senja, maafkan aku
telah membuatmu seperti ini. Maafkan aku menyia-nyiakan kasih sayangmu. Aku
menyayangimu”. Aku terus menangis seakan tak sadar air mata
mengucur deras membasahi pipiku. Aku kecup kening Senja yang berlumuran darah
dan aku semakin keras menangisi apa yang terjadi. Aku gugup. Jantungku
berayun-ayun dan hatiku hancur. Kenestapaanku semakin membelenggu ketika ambulans
tiba dan membawa jenazah perempuan yang telah aku kecewakan, dengan penuh
penyesalan aku dengan motor tuaku mengekor ambulans itu menuju rumah sakit.
Kini aku sadar, betapa besarnya kasih sayang Senja dan akupun
menyesal telah menyia-nyiakan cinta dan kasihnya“.
“Maafkan aku Senja, aku takan mungkin melupakan kebaikan, perhatian
dan kasihmu. Namamu akan selalu kuukir indah dan kusimpan mesra di dasar rindu
yang tak mungkin bisa membeku”. Itulah yang selalu terucap dibatin hampaku,
karena telah kehilangan labuhanku.
Tasimalaya, 20 September 2017
Salam
Literasi !!
oleh : Alan Pukis (Alan Fauzi)