Cerpen Terbaik
Judul: "Jadi, sejak kapan kamu mulai mencintaiku?"
Oleh: Maida Wati
Langit dan pantai saling menatap dari kejauhan, seperti sepasang kekasih yang tengah menanggung rindu karena jarak.
Keduanya masih sama biru. Isyarat bahwa; mereka masih menyimpan perasaan yang sama.
Related
"Ra, kapankah kamu mulai mencintaiku?"
Tanya seorang pria bermata sipit kepada wanita di sampingnya.
Topik pembicaraan berganti. Tidak lagi tentang deburan ombak yang gagah atau hamparan pasir putih yang tak pernah membenci jejak-jejak yang menginjak.
"Kenapa bertanya begitu, Mas?"
Wanita berkacamata minus itu balik bertanya dengan dahi sedikit mengerut.
"Aku ingin mengetahuinya, Sayang. Aku ingin tahu kapankah Tuhan membenturkan keajaiban-Nya itu padamu, membalikkan hatimu untukku. Sungguh, aku ingin tahu kapan saat itu terjadi."
Pria itu mengeratkan jemarinya yang memenuhi ruang-ruang kosong jemari istrinya, Zahira.
Zahira berjalan bersisian dengannya, mengikuti garis tepi pantai, menyamakan langkah mereka.
"Kenapa ...?"
Zahira tak mengerti maksud Rizki, suaminya.
"Sayang ... aku mencintaimu sejak saat duduk di bangku Madrasah Aliyah. Dan aku yakin kamu sudah mengetahuinya sejak saat itu. Semua teman satu kelas kita juga tahu itu. Aku yang tak pandai menyembunyikan perasaanku sendiri seringkali menjadi penyebab ledekan-ledekan itu muncul. Ledekan yang menyatakan bahwa: aku sangat mencintaimu. Ledekan yang tidak kamu suka, namun sangat aku nikmati.
"Maafkan aku, Ra. Maafkan aku untuk lima tahun yang lalu, Sayangku. Sungguh ... aku tak membantah ledekan itu bukan karena aku tak mampu, tapi karena aku suka. Aku suka melihat raut wajahmu yang kesal karena ledekan teman-temanku. Aku suka mendengar suara kecilmu saat marah karena tidak suka pada ledekan mereka. Dan aku suka semua ledekan itu, karena ia telah mewakili perasaanku padamu."
"Ih... kamu jahat, Mas."
Zahira menekuk wajahnya.
"Maaf, Ra.... Tapi, aku sungguh menyukai semua tentangmu, Sayang ...."
Zahira tersipu. Wajahnya menjadi kemerahan--menahan senyum.
"Aku suka semua tentangmu selama ia tidak membuatmu sakit atau luka."
"Gombal kamu, Mas!"
Zahira mencubit lengan suaminya. Tidak sakit dan tidak akan pernah sakit.
"Sebenarnya, dulu aku sangat ingin menyatakan perasaanku langsung padamu. Aku takut bila seseorang mendahuluiku dan aku tak akan pernah bisa memilikimu. Tapi, aku mengerti … tiada gunanya menyatakan perasaanku padamu saat itu. Tiada untungnya memintamu menjadi pacarku. Kita masih terlalu muda saat itu. Masih terlalu berambisi mengejar cita-cita. Lagi pula, ada nilai yang tertanam dalam diriku yang menyatakan tidak ada hubungan pra-nikah dalam bentuk apapun."
Zahira hanya tersenyum, menunggu Rizki melanjutkan kalimatnya.
"Kamu tahu, Ra ...? Tiga tahun kulewati dengan mengamati semua tentangmu. Diam-diam mencuri pandangan kearahmu.”
Rizki memberi jeda.
"Memperhatikanmu di saat jam pelajaran adalah saat yang paling aku suka. Kamu menjadi dua kali lebih cantik ketika sedang serius."
Dua pasang mata milik sepasang kekasih itu bertemu. Saling menatap untuk beberapa saat.
Zahira menaikkan alis matanya, seolah bertanya: benarkah?
Rizki tersenyum, menganggukan kepalanya.
Bangku minimalis dengan ukuran 30 x 100 cm yang mereka duduki menjadi saksi bisu pembicaraan mereka.
"Ra, aku selalu menjaga perasaanku sejak hari pertama perasaan itu tumbuh. Aku memilih menjaganya dalam kesendirianku agar ia tetap suci hingga Tuhan memperkenankan do'aku: agar berjodoh denganmu.
"Aku tak ingin mengutarakan perasaanku padamu atau menjalin hubungan pra-nikah, seandainya kamu menerimaku saat itu. Aku khawatir perasaanku justru melukaimu atau membuatmu ternoda."
Rizki memperbaiki posisi duduknya.
"Hingga suatu hari Tuhan memperkenankan do'aku dan memberikanku keberanian tuk menemui Ayahmu, memohon agar ia mengizinkanku menggantikan posisi serta tanggung jawabnya terhadapmu kepadaku."
Rizki mulai mengingat-ingat peristiwa sebelas bulan lalu. Memutar kembali memori yang telah tersimpan dalam ruang-ruang khusus di hati dan ingatannya. Maka, kapanpun ia ingin mengingatnya, ia akan menemukannya dengan mudah--dan akan selalu mudah.
"Dan saat itu adalah saat-saat mendebarkan bagiku. Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan Ayahmu membuatku semakin khawatir. Jangan-jangan ia menolak permohonanku, dan kamu ... bagaimana jika kamu juga menolak lamaranku? Maka sebelum aku mendengar jawabannya, aku telah lebih dulu mempersiapkan hatiku untuk jawaban terburuk sekalipun."
Rizki kembali membetulkan posisi duduknya yang mulai tidak nyaman.
"Namun lagi-lagi Tuhan rupanya telah menuliskan takdir yang sangat indah bagiku, kamu menerima lamaranku dan Ayahmu meridhoinya.”
Rizki mengusap perut istrinya yang telah membuncit. Kini, calon kendaraan ia dan istrinya menuju surga itu telah memasuki usia tujuh bulan.
"Terimakasih, Sayang. Terimakasih telah mencintai aku dan semua tentangku."
Zahira menangis, haru juga bahagia.
"Jadi, sejak kapan kamu mulai mencintaiku?"
Rizki mengulang pertanyaannya.
"Mas Rizki, Suamiku, takdir Tuhan selalu berakhir indah. Rencana-Nya selalu yang terbaik. Menjadi istrimu adalah takdir bagiku, namun menikah denganmu tidak ada dalam rencana-rencanaku. Tapi Tuhan Maha Benar. Tuhan tak mungkin melakukan kesalahan. Aku bahagia menjadi teman hidupmu. Kamu melaksanakan semua kewajibanmu sebagai seorang imam dengan baik, dan memenuhi segala yang menjadi hak-ku sebagai seorang istri dengan sangat baik pula."
Zahira mengusap air matanya, dibantu oleh suaminya.
"Ternyata jodoh itu dekat sekali ya, Mas? Suamiku adalah teman satu kelasku saat Madrasah Aliyah."
Zahira tertawa.Tiba-tiba ia tersenyum, mengingat sesuatu.
"Sayang... kenapa, kok senyum-senyum sendiri?"
Rizki bingung melihat istrinya yang senyum-senyum sendiri.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku merasa lucu saja mengingat ekspresimu saat Ayahku menginterogasimu. Rambutmu basah oleh keringatmu sendiri."
Zahira melepas tawanya. Oh, tawa yang indah. Membuat cemburu burung-burung yang mendengarnya.
"Kamu melihatnya, Ra? Tapi bukannya kamu hanya menunduk saat itu, sampai Ayahmu memintamu mengangkat wajahmu dan memberikan jawaban untukku?"
"Aku diam-diam mengintip, Mas."
"Ah, aku jadi malu nih."
"Malu kenapa? Aku bangga padamu, Mas. Kamu bisa menjawab semua pertanyaan Ayahku dengan tetap tenang meski keringatmu sudah mengucur. Aku melihat kesungguhanmu di sana. Dan saat itulah aku mulai mencintaimu."
"Baru sejak saat itu? Wah, untung aku tidak menuruti nafsuku untuk menyatakan perasaanku dan memintamu jadi pacarku saat Madrasah Aliyah dulu. Bisa-bisa aku malu dan patah hati karena ditolak kamu."
"Ah, kamu Mas….”
Zahira menyubit lengan suaminya lagi. Sungguh, cubitannya tidak pernah sakit.
"Tapi, bukan saat itu saja aku jatuh hati. Aku kembali jatuh hati padamu ketika mendengar hafalan qur’an yang kamu bacakan sebagai mahar pernikahan kita. Dan sisanya, kamu selalu membuatku jatuh hati setiap harinya."
Rizki mengamati wajah istrinya yang tulus dan menentramkan.
"Jika kamu melihatku saat itu, saat kamu membacakan tiga juz hafalanmu, kamu akan melihatku yang meneteskan air mata bahagia penuh syukur.”
Zahira mengatur nafasnya.
"Saat itu aku yakin kamu mampu menjadi imam dan ayah yang baik bagi aku dan anak-anak kita kelak.”
“Zahira, istriku. Aku tahu saat itu kamu menangis. Aku sempat menoleh ke arahmu. Dan aku mengerti bagaimana perasaanmu saat itu."
"Kamu tahu, Mas?”
“Iya, Sayang… aku melihatnya.”
Rizki memeluk istrinya. Pelukan yang erat sekali. Seakan ia tak akan sanggup melepaskannya.
Maida Wati. Gadis kelahiran 15 April 1998, P. Berandan (Sumatera Utara).
Dapat dihubungi melalui:
Fb laskar.pelang1@yahoo.com
Hp 085261855782